Rabu, 21 Oktober 2015

Dari Ngayah Menjadi Mabayah
Oleh: I Wayan Bhayu Eka Pratama
            Bali merupakan sebuah pulau kecil yang penuh dengan keunikan. Konon katanya orang-orang Bali merupakan seniman, budayawan yang datang dari tanah Jawa ke Bali untuk mengungsi. Sehingga seiring berjalannya waktu timbulah berbagai kebudayaan, salah satunya adalah kebudayaan Ngayah. Ngayah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok tanpa menerima upah ataupun materi, biasa kita sebut dengan gotong royong. Dahulu kehidupan gotong royong sangat cocok dengan orang Bali yang hidup berdasarkan pertanian. Orang Bali biasanya pergi kuma (bertani) antara pukul 5 dengan 6 pagi, dan pulangnya siang pukul belasan. Setelah itu, orang Bali biasanya melakukan kegiatan sampingan seperti memperbaiki alat rumah tangga, membuat sarana upakara adat, dan melakukan kegiatan seni seperti megambel, ngewayang, menari, dll. Sehingga orang Bali banyak sekali memiliki waktu luang untuk bercengkrama dengan lingkungan sekitar. Masyarakat Bali dulu juga masih menanamkan sikap toleransi, tenggang rasa, gotong royong yang tinggi. Setiap kegiatan pelaksanaan upacara adat, masyarakat Bali ngayah berkumpul di satu tempat dan membuat semua sarana upakara bersama, disetiap berkumpul seperti inilah juga orang Bali dapat makekedekan dan bersosialisasi dengan satu warga desa. Maka dari itu orang Bali terjaga dalam keharmonisan dan taat dengan ajaran Tri Hita Karana
            Semua budaya yang sudah berlangsung lama itu berubah ketika orang Bali membuka diri untuk menerima orang asing sebagai pariwisata, dan akhirnya Bali menjadi tujuan wisata nasional bahkan dunia. Seiring berjalannya waktu, profesi masyarakat Bali beralih ke bidang pariwisata seperti tour guide, dan akibatnya  profesi sebagai petani dianggap kurang bergengsi, sehingga sekarang ini pekerjaan sebagai petani ditinggalkan masyarakat dan hidup dalam pergaulan pariwisata. Sikap hidup manusia bali dari Ngayah akan menjadi Mabayah (nerima insentif) yaitu dari sikap gotong royong kini menjadi “apa yang saya dapatkan untuk digotong-royongkan (Musna, 2015). Artinya apa yang didapat untuk dibagi bersama. Budaya Bali yang dahulu membuat  sarana upakara bersama secara gotong royong dan sarananya memetik dari hasil kebun sekarang sudah mulai memudar, banyak sarana keperluan upakara dapat dibeli masyarakat asal ada uang. Alat-alat upakara diimpor dari luar bali. Akhirnya menyebabkan pelaksanaan upacara itu menjadi beban kehidupan masyarakat karena mahal dan sifatnya hanya seremonial. Sehingga timbul kesan upacara adat sekedar dilaksanakan tidak perlu memahami konteks upacara itu sendiri.


Sebaiknya sebagai umat Hindu di Bali harus lebih berfikir, dalam menjalankan ritual adat tidak harus menghilangkan mata pencaharian, karena tidak semua upacara tersebut harus kita hadiri, jika memang tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Dan jangan juga terlalu fokus untuk bekerja sehingga meninggalkan sesuatu yang menjadi tuntutan agama dan adat istiadat tersebut. Dua hal tersebut memang erat kaitannya dan mungkin tidak bisa ditinggalkan, namun kita harus bisa memprioritaskan mana harus dijalankan dan mana yang tidak.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!