Dari Ngayah Menjadi Mabayah
Oleh:
I Wayan Bhayu Eka Pratama
Bali
merupakan sebuah pulau kecil yang penuh dengan keunikan. Konon katanya
orang-orang Bali merupakan seniman, budayawan yang datang dari tanah Jawa ke
Bali untuk mengungsi. Sehingga seiring berjalannya waktu timbulah berbagai
kebudayaan, salah satunya adalah kebudayaan Ngayah.
Ngayah merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perorangan ataupun
kelompok tanpa menerima upah ataupun materi, biasa kita sebut dengan gotong royong.
Dahulu kehidupan gotong royong sangat cocok dengan orang Bali yang hidup
berdasarkan pertanian. Orang Bali biasanya pergi kuma (bertani) antara
pukul 5 dengan 6 pagi, dan pulangnya siang pukul belasan. Setelah itu, orang
Bali biasanya melakukan kegiatan sampingan seperti memperbaiki alat rumah
tangga, membuat sarana upakara adat, dan melakukan kegiatan seni seperti megambel, ngewayang, menari, dll.
Sehingga orang Bali banyak sekali memiliki waktu luang untuk bercengkrama
dengan lingkungan sekitar. Masyarakat Bali dulu juga masih menanamkan sikap
toleransi, tenggang rasa, gotong royong yang tinggi. Setiap kegiatan
pelaksanaan upacara adat, masyarakat Bali ngayah
berkumpul di satu tempat dan membuat semua sarana upakara bersama, disetiap
berkumpul seperti inilah juga orang Bali dapat makekedekan dan bersosialisasi dengan satu warga desa. Maka dari
itu orang Bali terjaga dalam keharmonisan dan taat dengan ajaran Tri Hita
Karana
Semua
budaya yang sudah berlangsung lama itu berubah ketika orang Bali membuka diri
untuk menerima orang asing sebagai pariwisata, dan akhirnya Bali menjadi tujuan
wisata nasional bahkan dunia. Seiring berjalannya waktu, profesi masyarakat
Bali beralih ke bidang pariwisata seperti tour
guide, dan akibatnya profesi sebagai
petani dianggap kurang bergengsi, sehingga sekarang ini pekerjaan sebagai
petani ditinggalkan masyarakat dan hidup dalam pergaulan pariwisata. Sikap
hidup manusia bali dari Ngayah
akan menjadi Mabayah (nerima
insentif) yaitu dari sikap gotong royong kini menjadi “apa yang saya
dapatkan untuk digotong-royongkan (Musna, 2015). Artinya apa yang didapat
untuk dibagi bersama. Budaya Bali yang dahulu membuat sarana upakara bersama secara gotong royong dan
sarananya memetik dari hasil kebun sekarang sudah mulai memudar, banyak sarana
keperluan upakara dapat dibeli masyarakat asal ada uang. Alat-alat upakara
diimpor dari luar bali. Akhirnya menyebabkan pelaksanaan upacara itu menjadi
beban kehidupan masyarakat karena mahal dan sifatnya hanya seremonial. Sehingga
timbul kesan upacara adat sekedar dilaksanakan tidak perlu memahami konteks
upacara itu sendiri.
Sebaiknya sebagai umat Hindu di Bali harus lebih
berfikir, dalam menjalankan ritual adat tidak harus menghilangkan mata
pencaharian, karena tidak semua upacara tersebut harus kita hadiri, jika memang
tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Dan jangan juga terlalu fokus untuk bekerja
sehingga meninggalkan sesuatu yang menjadi tuntutan agama dan adat istiadat
tersebut. Dua hal tersebut memang erat kaitannya dan mungkin tidak bisa
ditinggalkan, namun kita harus bisa memprioritaskan mana harus dijalankan dan
mana yang tidak.
(Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar